MAULIDAH HASANAH (101014050)
1. Pengertian
Kecemasan
Kecemasan
atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus”
yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik.
Konsep
kecemasan memegang peranan yang sangat mendasar dalam teori-teori tentang stres
dan penyesuaian diri (Lazarus, 1961). Menurut Post (1978), kecemasan adalah
kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan-perasaan
subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan
aktifnya sistem syaraf pusat. Freud (dalam Arndt, 1974) menggambarkan dan
mendefinisikan kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang
diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan
pernafasan. Menurut Freud, kecemasan melibatkan persepsi tentang perasaan yang
tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan kata lain kecemasan adalah
reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya.
Lefrancois
(1980) juga menyatakan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosi yang tidak
menyenangkan, yang ditandai dengan ketakutan. Hanya saja, menurut Lefrancois,
pada kecemasan bahaya bersifat kabur, misalnya ada ancaman, adanya hambatan
terhadap keinginan pribadi, adanya perasaan-perasaan tertekan yang muncul dalam
kesadaran. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Lefrancois adalah pendapat
Johnston yang dikemukakan oleh (1971) yang menyatakan bahwa kecemasan dapat
terjadi karena kekecewaan, ketidakpuasan, perasaan tidak aman atau adanya
permusuhan dengan orang lain. Kartono (1981) juga mengungkapkan bahwa neurosa
kecemasan ialah kondisi psikis dalam ketakutan dan kecemasan yang kronis,
sungguhpun tidak ada rangsangan yang spesifik. Menurut Wignyosoebroto (1981),
ada perbedaan mendasar antara kecemasan dan ketakutan. Pada ketakutan, apa yang
menjadi sumber penyebabnya selalu dapat ditunjuk secara nyata, sedangkan pada
kecemasan sumber penyebabnya tidak dapat ditunjuk dengan tegas, jelas dan
tepat.
2. Tingkatan
Kecemasan
Selanjutnya,
Jersild (1963) menyatakan bahwa ada dua tingkatan kecemasan. Pertama, kecemasan
normal, yaitu pada saat individu masih menyadari konflik-konflik dalam diri
yang menyebabkan cemas. Kedua, kecemasan neurotik, ketika individu tidak
menyadari adanya konflik dan tidak mengetahui penyebab cemas, kecemasan
kemudian dapat menjadi bentuk pertahanan diri.
Menurut
Bucklew (1980), para ahli membagi bentuk kecemasan itu dalam dua tingkat,
yaitu:
1.
Tingkat
psikologis. Kecemasan yang berwujud sebagai gejala-gejala kejiwaan, seperti
tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan
sebagainya.
2.
Tingkat
fisiologis. Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala
fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf, misalnya tidak dapat tidur, jantung
berdebar-debar, gemetar, perut mual, dan sebagainya.
3. Gejala
– Gejala Kecemasan
Simtom-simtom
somatis yang dapat menunjukkan ciri-ciri kecemasan menurut Stern (1964) adalah
muntah-muntah, diare, denyut jantung yang bertambah keras, seringkali buang
air, nafas sesak disertai tremor pada otot. Kartono (1981) menyebutkan bahwa
kecemasan ditandai dengan emosi yang tidak stabil, sangat mudah tersinggung dan
marah, sering dalam keadaan excited atau gempar gelisah.
Sue,
dkk (dalam Kartikasari, 1995) menyebutkan bahwa manifestasi kecemasan terwujud
dalam empat hal berikut ini.
a.
Manifestasi
kognitif, yang terwujud dalam pikiran seseorang, seringkali memikirkan tentang
malapetaka atau kejadian buruk yang akan terjadi.
b.
Perilaku
motorik, kecemasan seseorang terwujud dalam gerakan tidak menentu seperti
gemetar.
c.
Perubahan
somatik, muncul dalam keadaaan mulut kering, tangan dan kaki dingin, diare,
sering kencing, ketegangan otot, peningkatan tekanan darah dan lain-lain.
Hampir semua penderita kecemasan menunjukkan peningkatan detak jantung,
respirasi, ketegangan otot dan tekanan darah.
d.
Afektif,
diwujudkan dalam perasaan gelisah, dan perasaan tegang yang berlebihan.
Freud
(dalam Arndt, 1974) mengemukakan bahwa lemahnya ego akan menyebabkan ancaman
yang memicu munculnya kecemasan. Freud berpendapat bahwa sumber ancaman
terhadap ego tersebut berasal dari dorongan yang bersifat insting dari id dan
tuntutan-tuntutan dari superego. Freud (dalam Hall dan Lindzay, 1995)
menyatakan bahwa ego disebut sebagai eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol
pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi lingkungan kemana ia akan
memberikan respon, dan memutuskan insting.
insting
manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan
fungsi-fungsi eksekutif ini, ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan id,
superego, dan dunia luar yang sering bertentangan. Hal ini sering menimbulkan
tegangan berat pada ego dan menyebabkan timbulnya kecemasan.
Menurut
Horney (dalam Arndt, 1974), sumber-sumber ancaman yang dapat menimbulkan
kecemasan tersebut bersifat lebih umum. Penyebab kecemasan menurut Horney,
dapat berasal dari berbagai kejadian di dalam kehidupan atau dapat terletak di
dalam diri seseorang.
Suatu
kekaburan atau ketidakjelasan, ketakutan akan dipisahkan dari sumber-sumber
pemenuhan kekuasaan dan kesamaan dengan orang lain adalah penyebab terjadinya
kecemasan dalam konsep kecemasan Angyal (Arndt, 1974).
Menurut
Murray (dalam Arndt 1974) sumber-sumber kecemasan adalah need-need untuk
menghindar dari terluka (harmavoidance), menghindari teracuni (infavoidance),
menghindar dari disalahkan (blamavoidance) dan bermacam sumber-sumber lain.
Disamping ketiga need tersebut, Murray (dalam Arndt, 1974) juga menyebutkan
bahwa kecemasan dapat merupakan reaksi emosional pada berbagai kekhawatiran, seperti
kekhawatiran pada masalah sekolah, masalah finansial, kehilangan objek yang
dicintai dan sebagainya.
Berkaitan
dengan kecemasan pada pria dan wanita, Myers (1983) mengatakan bahwa perempuan
lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki, laki-laki lebih
aktif, eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif. Penelitian lain
menunjukkan bahwa laki-laki lebih rileks dibanding perempuan (Power dalam
Myers, 1983).
James
(dalam Smith, 1968) mengatakan bahwa perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan lingkungan daripada laki-laki. Perempuan juga lebih cemas,
kurang sabar, dan mudah mengeluarkan air mata (Cattel, dalam Smith, 1968).
Lebih jauh lagi, dalam berbagai studi kecemasan secara umum, menyatakan bahwa
perempuan lebih cemas daripada laki-laki (Maccoby dan Jacklin, 1974).
Morris
(dalam Leary, 1983) menyatakan bahwa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi
pada pengukuran ketakutan dalam situasi sosial dibanding laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar